Kamis, 20 September 2012

HIV dan kedokteran gigi


Saat saya belum menjadi seorang mahasiswa kedokteran gigi, setiap mendengar kata HIV/AIDS, yang ada dalam pikiran saya adalah sebuah penyakit mematikan yang sangat menular dan biasanya diderita  para pecandu narkoba dan pelaku seks bebas. Memang menyedihkan pengetahuan yang saya miliki sebagai orang awam saat itu. Alhamdulillah, setelah menjadi seorang mahasiswa kedokteran gigi, saya memiliki kesempatan untuk mempelajari lebih banyak mengenai penyakit yang satu ini.

Setelah mempelajari teori mengenai penyakit virus ini di bagian penyakit mulut, saya berkesempatan untuk bertemu langsung dengan penderitanya saat saya bertugas di poli bedah mulut RSCM dan RSU Tangerang. Reaksi yang saya dapatkan dari teman-teman saya kurang lebih sama, yaitu kaget karena bisa bertemu dengan penderitanya secara langsung dan tidak berani sedikitpun untuk menangani pasien tersebut. Para dokter dan perawat yang sudah lebih sering bertemu dengan pasien ini memang bisa bersikap lebih biasa dan mereka pun sudah memahami prosedur yang harus dijalankan saat menangani pasien dengan penyakit ini, misalnya menggunakan alat yang sudah dipisahkan sendiri, menggunakan sarung tangan dan masker dua lapis serta menggunakan baju plastik pelindung dan kacamata saat akan melakukan pencabutan yang mungkin dapat terkena cipratan darah pasien. Saat itu, saya beranggapan bahwa penanganan pasien ini atau yang biasa disebut dengan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) harus dilakukan di rumah sakit dengan prosedur yang cukup rumit. Tapi ternyata saya memiliki pandangan yang salah.

Saya pernah mendapat cerita dari seorang teman bahwa ODHA sering mengeluhkan kesulitan mereka untuk mendapatkan perawatan di bidang kedokteran gigi karena mereka diminta untuk menyediakan alat sendiri. Selain itu, mereka juga sering merasa dibedakan oleh para praktisi kesehatan karena penyakit yang mereka derita. Saya sendiri pun masih kurang memahami hal ini dan akhirnya saya bertanya kepada seorang dosen di kampus saya yang memiliki perhatian dan pengetahuan lebih mengenai hal ini yaitu drg.Gus Permana, Ph.D, Sp.PM. Dari kuliah privat singkat yang saya dapatkan dari beliau, ada beberapa hal yang sangat penting untuk diketahui oleh calon dokter gigi seperti saya, yaitu:

1.  Untuk penanganan pasien HIV sebenarnya bisa dilakukan di klinik pribadi asalkan sang dokter memahami prinsip universal precaution dan kontrol infeksi yang sesuai dengan SOP. Universal precaution adalah prinsip yang menganggap semua pasien memiliki status penyakit yang sama sehingga penggunaan sarung tangan, masker, sterilisasi alat dan dental unit selalu dilakukan ke semua pasien tanpa terkecuali. Untuk penanganan di klinik pribadi, sebisa mungkin rekam medik pasien mengenai status HIV nya dapat diketahui, seperti hasil pemeriksaan darah lengkap mencakup jumlah leukosit, CD4, dsb. Hal ini dilakukan untuk mengetahui status penyakit pasien yang akan menentukan apakah tindakan invasif dapat dilakukan di klinik, atau harus dirujuk ke RS. Misalnya, ODHA dengan jumlah leukosit yang sangat rendah dan sudah berada di tahap AIDS sebaiknya dirawat di Rumah Sakit.

2. Terkait dengan alat-alat yang digunakan untuk perawatan gigi dan mulut , sebenarnya selama alat tersebut sudah disterilisasi dengan prosedur yang sesuai, maka tidak perlu ada pembedaan alat untuk pasien dengan HIV, terutama alat-alat bedah yang tidak tersedia dalam bentuk disposable. Namun, alat-alat pemeriksaan yang tersedia dalam bentuk disposable tetap disarankan untuk digunakan jika kesulitan dalam proses sterilisasi. Dalam penggunaan alat-alat ini, proses sterilisasi harus benar-benar diperhatikan dengan baik. Misalnya, penggunaan autoklaf dan larutan sterilisator yang sesuai.

3. Penularan HIV hanya bisa terjadi melalui cairan tubuh ( darah, sperma, ASI, dll), bahkan pada kondisi awal, saat aktivitas virus berada di titik bawah, kemungkinan terjadinya penularan cukup rendah. Menurut drg.Gus Permana, Ph.D, Sp.PM , penularan hepatitis dirasa lebih mudah untuk terjadi dibandingkan penularan HIV. Oleh karena itu, kekhawatiran yang dirasakan para praktisi kesehatan terhadap pasien dengan HIV dianggap terlalu berlebihan.

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan oleh drg.Gus Permana, Ph.D, Sp.PM, dapat disimpulkan bahwa perlakuan berbeda yang dirasakan oleh ODHA dari para praktisi kesehatan dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai cara penanganan pasien HIV, oleh karena itu sebagai seorang calon dokter gigi, pengetahuan mengenai kontrol infeksi dan status penyakit sistemik pasien  serta cara penanganannya harus menjadi perhatian utama.

Maksimalkan potensi kita sebagai calon praktisi kesehatan sehingga kelak kita dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat tanpa ada pengecualian. Semangat teman sejawat!! 

Tidak ada komentar: