Saat saya belum menjadi seorang mahasiswa kedokteran gigi, setiap
mendengar kata HIV/AIDS, yang ada dalam pikiran saya adalah sebuah penyakit
mematikan yang sangat menular dan biasanya diderita para pecandu narkoba dan pelaku seks bebas.
Memang menyedihkan pengetahuan yang saya miliki sebagai orang awam saat itu.
Alhamdulillah, setelah menjadi seorang mahasiswa kedokteran gigi, saya memiliki
kesempatan untuk mempelajari lebih banyak mengenai penyakit yang satu ini.
Setelah mempelajari teori mengenai penyakit virus ini di bagian
penyakit mulut, saya berkesempatan untuk bertemu langsung dengan penderitanya
saat saya bertugas di poli bedah mulut RSCM dan RSU Tangerang. Reaksi yang saya
dapatkan dari teman-teman saya kurang lebih sama, yaitu kaget karena bisa
bertemu dengan penderitanya secara langsung dan tidak berani sedikitpun untuk
menangani pasien tersebut. Para dokter dan perawat yang sudah lebih sering
bertemu dengan pasien ini memang bisa bersikap lebih biasa dan mereka pun sudah
memahami prosedur yang harus dijalankan saat menangani pasien dengan penyakit
ini, misalnya menggunakan alat yang sudah dipisahkan sendiri, menggunakan
sarung tangan dan masker dua lapis serta menggunakan baju plastik pelindung dan
kacamata saat akan melakukan pencabutan yang mungkin dapat terkena cipratan
darah pasien. Saat itu, saya beranggapan bahwa penanganan pasien ini atau yang
biasa disebut dengan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) harus dilakukan di rumah
sakit dengan prosedur yang cukup rumit. Tapi ternyata saya memiliki pandangan
yang salah.
Saya pernah mendapat cerita dari seorang teman bahwa ODHA sering
mengeluhkan kesulitan mereka untuk mendapatkan perawatan di bidang kedokteran
gigi karena mereka diminta untuk menyediakan alat sendiri. Selain itu, mereka
juga sering merasa dibedakan oleh para praktisi kesehatan karena penyakit yang
mereka derita. Saya sendiri pun masih kurang memahami hal ini dan akhirnya saya
bertanya kepada seorang dosen di kampus saya yang memiliki perhatian dan
pengetahuan lebih mengenai hal ini yaitu drg.Gus Permana, Ph.D, Sp.PM. Dari
kuliah privat singkat yang saya dapatkan dari beliau, ada beberapa hal yang
sangat penting untuk diketahui oleh calon dokter gigi seperti saya, yaitu:
1. Untuk penanganan pasien
HIV sebenarnya bisa dilakukan di klinik pribadi asalkan sang dokter memahami
prinsip universal precaution dan kontrol infeksi yang sesuai dengan SOP.
Universal precaution adalah prinsip yang menganggap semua pasien memiliki
status penyakit yang sama sehingga penggunaan sarung tangan, masker, sterilisasi
alat dan dental unit selalu dilakukan ke semua pasien tanpa terkecuali. Untuk
penanganan di klinik pribadi, sebisa mungkin rekam medik pasien mengenai status
HIV nya dapat diketahui, seperti hasil pemeriksaan darah lengkap mencakup
jumlah leukosit, CD4, dsb. Hal ini dilakukan untuk mengetahui status penyakit
pasien yang akan menentukan apakah tindakan invasif dapat dilakukan di klinik,
atau harus dirujuk ke RS. Misalnya, ODHA dengan jumlah leukosit yang sangat
rendah dan sudah berada di tahap AIDS sebaiknya dirawat di Rumah Sakit.
2. Terkait dengan alat-alat yang digunakan untuk perawatan gigi dan
mulut , sebenarnya selama alat tersebut sudah disterilisasi dengan prosedur
yang sesuai, maka tidak perlu ada pembedaan alat untuk pasien dengan HIV, terutama
alat-alat bedah yang tidak tersedia dalam bentuk disposable. Namun, alat-alat
pemeriksaan yang tersedia dalam bentuk disposable tetap disarankan untuk
digunakan jika kesulitan dalam proses sterilisasi. Dalam penggunaan alat-alat
ini, proses sterilisasi harus benar-benar diperhatikan dengan baik. Misalnya,
penggunaan autoklaf dan larutan sterilisator yang sesuai.
3. Penularan HIV hanya bisa terjadi melalui cairan tubuh ( darah,
sperma, ASI, dll), bahkan pada kondisi awal, saat aktivitas virus berada di
titik bawah, kemungkinan terjadinya penularan cukup rendah. Menurut drg.Gus Permana, Ph.D, Sp.PM ,
penularan hepatitis dirasa lebih mudah untuk terjadi dibandingkan penularan
HIV. Oleh karena itu, kekhawatiran yang dirasakan para praktisi kesehatan
terhadap pasien dengan HIV dianggap terlalu berlebihan.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan oleh drg.Gus Permana,
Ph.D, Sp.PM, dapat disimpulkan bahwa perlakuan berbeda yang dirasakan oleh ODHA
dari para praktisi kesehatan dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka
mengenai cara penanganan pasien HIV, oleh karena itu sebagai seorang calon
dokter gigi, pengetahuan mengenai kontrol infeksi dan status penyakit sistemik
pasien serta cara penanganannya harus
menjadi perhatian utama.
Maksimalkan potensi kita sebagai calon praktisi kesehatan sehingga kelak kita dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat tanpa ada
pengecualian. Semangat teman sejawat!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar