Selasa, 16 Agustus 2016

Dormi(s)tory. Cerita Kita di Jalan Cendekia

Assalamualaykum, selamat berjumpa lagi bloggers! Tidak terasa ternyata saya sudah meninggalkan blog ini cukup lama. Yah, mengurus anak memang cukup menyita waktu saya selama 1 tahun terakhir. Alhamdulillah, kini jagoan kecil saya udah menginjak usia 19 bulan, sudah semakin besar, semakin sholeh dan semakin pintar, aamiin. 

Sebenarnya saya sudah lama ingin sekali kembali menulis. Namun ternyata mendapatkan ide untuk menulis itu cukup sulit terlebih jika saat ini kehidupan saya hanya berkisar antara mengurus suami dan anak di rumah. Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu, tanpa sengaja saya membaca di halaman Facebook bahwa alumni sekolah saya (MAN Insan Cendekia) sudah membentuk sebuah komunitas blogger dan berencana untuk menerbitkan sebuah buku bersama. Wah, sepertinya ini merupakan sebuah kesempatan agar saya bisa kembali aktif di dunia menulis ini. 

Alhamdulillah , salah satu teman angkatan saya menjadi contact person di komunitas tersebut. Tanpa ragu, saya pun langsung menyatakan ketertarikan saya untuk ikut bergabung di komunitas itu. Awalnya saya kira saya harus mengirimkan karya saya kepada komunitas itu untuk nantinya diseleksi apakah layak atau tidak untuk dimasukkan ke dalam buku yang akan mereka cetak. Namun, ternyata saya langsung dimasukkan ke dalam grup whatsapp komunitas blogger IAIC (Ikatan Alumni Insan Cendekia) yang saat itu sedang sibuk membicarakan proyek pertama mereka. 

Seru sekali rasanya bisa bergabung di dalam satu grup yang terdiri dari sekitar 19 angkatan. Selain membicarakan topik tulisan, kadang grup ini juga menjadi ajang curhat teman-teman blogger IAIC mengenai seluruh seluk beluk pembuatan buku ini. Selain itu, grup ini juga menjadi sarana untuk berbagi banyak hal. Mulai dari ilmu parenting, teknologi dan lainnya. Alhamdulillah, walaupun kami tidak bertatap muka, namun rasa kekeluargaan sesama alumni IC pun tetap terasa. 

Kini, buku dengan judul Dormi(s)tory : Cerita Kita di Jalan Cendekia, sudah selesai dicetak dan mulai dibagikan kepada guru-guru kami tersayang. Ketika saya kembali membaca satu persatu tulisan senior maupun junior saya di buku tersebut, tiba-tiba saya merasa sedang kembali ke masa 11 tahun yang lalu, saat saya masih menjadi siswa di sekolah itu. Ya, saya memang selalu merindukan masa-masa itu. Semua memori benar-benar seperti terputar kembali. 

Alhamdulillah, respon dari para guru juga testimonial dari para petinggi sekaligus orangtua alumni IC membuat kami merasa sangat terharu. Kami tidak menyangka bahwa tulisan yang kami kumpulkan ini bisa memberikan kesan dan kenangan yang cukup baik. Respon baik inilah yang membuat kami menjadi lebih semangat untuk menyelesaikan proyek kedua kami. Selain dibagikan kepada guru, buku ini juga dijual kepada adik-adik calon siswa/siswi IC saat proses penerimaan siswa baru beberapa waktu yang lalu dan kepada para alumni ( tentunya ) juga siapapun yang ingin mengetahui kehidupan kami di sekolah tercinta. 

Bagi yang ingin memesan, silakan buka http://bit.ly/PesanDormistory2. 

Selamat Membaca!!

*very late post. Sorry :) 

Anak dan dokter gigi

Mengenalkan anak kepada dokter gigi memang sebaiknya dilakukan sejak dini. Beberapa mengatakan bahwa usia yang paling tepat adalah saat anak berusia 2 tahun. Hal ini dilakukan agar kelak ketika anak memiliki masalah dengan giginya maka anak akan terbiasa untuk berada di lingkungan ruang dokter gigi dan tidak memiliki pandangan  bahwa dokter gigi itu menakutkan. Tidak bisa dipungkiri, dokter gigi mungkin memang cukup sering ditakuti oleh anak-anak, padahal beberapa dari mereka belum pernah merasakan perawatan di dokter gigi. Mungkin hal ini disebabkan oleh suara bising dari alat di runag dokter gigi, alat-alat yang terlihat tajam di atas meja atau mungkin karena anak-anak juga sering ditakut-takuti oleh orangtuanya tentang sosok dokter gigi yang menyeramkan. 

Dalam perawatan gigi anak, peran orangtua sangat dibutuhkan. Yang dimaksud peran di sini bukan berarti bahwa orangtua harus ikut membantu dokter gigi agar anak mau duduk di kursi gigi dan membuka mulutnya dengan cara memaksa dan mengancam. Perawatan tidak akan berjalan lancar jika anak merasa dipaksa. Peran orangtua yang diharapkan oleh para dokter gigi adalah membantu meyakinkan anak bahwa perawatan dengan dokter gigi akan berjalan dengan baik dan kondisi giginya akan segera membaik. Ajak anak untuk berkomunikasi dengan bahasa mereka tapi jangan ada unsur kebohongan di dalamnya. Biarkan dokter gigi yang menjelaskan kepada anak mengenai perawatan yang akan dilakukan. Orangtua sangat diharapkan dapat mendukung suasana di dalam ruang dokter gigi dengan pendampingan yang menenangkan, tanpa ada unsur paksaan, nada mengancam atau mencoba membantu dokter gigi menjelaskan prosedur perawatan kepada anak yang terkadang malah salah. 

Pada kunjungan pertama seorang anak ke dokter gigi, diharapkan orangtua dapat bersabar, karena dokter gigi secara perlahan akan mencoba memberi perkenalan awal kepada anak. Jangan terlalu berharap bahwa tujuan datang ke dokter gigi di kunjungan pertama dapat berjalan dengan lancar. Untuk menghindari rasa "kapok ke dokter gigi", sebaiknya di kunjungan pertama, perawatan yang dilakukan lebih kepada perawatan perkenalan, jadi tidak asal cabut yang akhirnya nanti mungkin membuat anak menjadi takut ke dokter gigi. 

Hal yang cukup sering membuat anak takut adalah suntikan. Dalam prosedur pencabutan, dokter gigi memiliki beberapa cara agar anak dapat  melewati prosedur tersebut dengan sakit yang minimal. Orangtua sangat diharapkan agar tidak memberikan cerita bohong kepada anak mengenai rasa sakit. Jangan janjikan kepada anak bahwa perawatan tidak sakit sama sekali. Walaupun pada beberapa kasus, ada anak yang merasa tidak sakit sama sekali saat proses pencabutan, namun ada juga yang masih merasa sedikit sakit saat proses pembaalan (anestesi). Jika anak sudah dibekali cerita bahwa proses pencabutan tidak akan terasa sakit namun pada kenyataannya dia harus mengalami pengalaman yang tidak nyaman, dikhawatirkan anak akan kapok ke dokter gigi dan menganggap bahwa semua perawatan di dokter gigi itu menyakitkan serta timbulnya ketidakpercayaan anak terhadap dokter gigi dan orangtuanya. 

Perawatan gigi anak akan maksimal saat kerjasama antara anak, dokter gigi dan orangtua dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, untuk para orangtua, mari bangun kerjasama yang baik dengan dokter gigi saat mengantar anak untuk menjalani perawatan giginya. Kuncinya adalah tanpa paksaan, tidak berbohong dan bersikap tenang. Salam gigi sehat!