Kamis, 24 September 2015

Dominan

Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Itu adalah hal yang sangat ditekankan oleh sekolah saya semasa SMA dulu. Sebisa mungkin, untuk pemilihan ketua apapun, yang boleh menempati posisi pimpinan itu adalah kaum adam. Jujur saja, ini adalah hal yang cukup baru dan sedikit menimbulkan konflik dalam diri saya. Saat duduk di bangku SD dulu, saya pernah menjadi pemimpin di kelas dan di kelompok drum band. Bahkan, ketika menginjak bangku SMP, saya sempat terpilih menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi siswa. Pengalaman yang saya dapatkan sejak kecil inilah yang akhirnya membentuk kepribadian saya menjadi cukup dominan di antara teman-teman. 

Seiring berjalannya waktu, pemikiran saya soal kepemimpinan pun mulai berubah. Saya sudah mulai sepaham dengan ajaran yang diberikan di SMA saya dulu. Namun, ketika masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu kuliah, sepertinya saya harus kembali mengalami penyesuaian. Di kampus saya yang mayoritas terdiri dari mahasiswi, mau tidak mau, untuk beberapa kepanitiaan maupun organisasi, pemimpinnya adalah seorang wanita. Walaupun di kampus, saya tidak pernah menjadi pemimpin sebuah organisasi, namun untuk di kepanitiaan, saya sempat memegang jabatan menjadi seorang pemimpin. Aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan akhirnya kembali memunculkan sifat dominan dalam diri saya yang sudah sempat teredam selama di SMA dulu.

Di akhir masa kuliah, saya, sebagaimana wanita pada umumnya, mulai memikirkan konsep pernikahan dan berkeluarga. Sebenarnya, sejak duduk di SMA, ibu dan kakak saya sudah pernah mengingatkan akan peran seorang wanita dalam kehidupan pernikahannya nanti, yaitu bahwa wanita memiliki peran dan tugas utama sebagai seorang istri dan ibu. Karena hal inilah, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi seorang dokter gigi agar memiliki waktu kerja yang fleksibel sehingga kelak saya bisa tetap bekerja dan memberikan manfaat untuk masyarakat tanpa perlu meninggalkan kewajiban utama saya sebagai ibu dan istri di rumah. Lalu, kini muncul sebuah pertanyaan. Apakah saya bisa bertemu dengan seorang lelaki yang jauh lebih dominan dari diri saya? 

Menurut saya, dalam sebuah pernikahan, tentulah seorang suami yang harus menjadi pemimpin utama, dan istri bertugas menjadi pendampingnya. Jadi, sudah pasti, suami saya adalah lelaki yang jauh lebih dominan dari saya. Berkaca kepada kehidupan pernikahan ibu dan kakak saya, saya yakin bahwa kelak saya akan bertemu dengan lelaki yang lebih dominan itu. Alhamdulillah, Allah pun menunjukkan kuasaNya. Di akhir masa kuliah saya menjadi dokter gigi, Allah mempertemukan saya dengan seorang lelaki yang walaupun lahir di tahun yang sama dengan saya, namun terlihat jauh lebih dewasa dan lebih dominan daripada saya.

Sejak awal merencanakan masa depan, saya sudah memiliki pemikiran bahwa setelah menikah, saya akan mengikuti apapun arahan suami saya. Intinya, rencna hidup saya ke depan, ada di tangan suami saya. Lucu ya? Saya yang sebelumnya adalah seorang wanita yang cukup dominan dalam kehidupan kemahasiswaan kini malah akan menyerahkan kehidupan saya ke depan kepada lelaki yang mungkin baru saja saya kenal kurang dari satu tahun. Saya menganggap pernikahan sebagai ibadah terbesar dalam hidup saya yang harus saya jalani dengan optimal. Dengan menikah lalu menjadi istri dan seorang ibu, insya Allah, jalan saya untuk mensyukuri kehidupan dan beribadah kepada Allah akan terbuka dengan sangat luas. Ada banyak sekali perintah Allah dan sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa istri yang baik adalah yang taat kepada suaminya. Oleh karena itu, saya meyakini bahwa untuk menjadi istri yang baik, suami dan keluarga benar-benar harus menjadi prioritas dalam hidup saya dan itu berarti saya harus bisa mengurangi banyak sifat dominan dalam diri saya. 

Alhamdulillah, pernikahan saya sudah berjalan selama 1 tahun lebih. Pada masa-masa di awal pernikahan, saya dan suami memang mengalami banyak penyesuaian. Saya belajar untuk bisa lebih menempatkan diri sebagai istri dan suami saya juga belajar untuk bersabar menghadapi sikap saya yang terkadang masih terbawa dominan. Walaupun proses penyesuaian ini membutuhkan waktu dan kerja keras, namun, alhamdulillah, akhirnya penyesuaian itu berhasil kami lewati bersama. Jujur saja, setelah menikah, banyak sekali perubahan dalam kehidupan saya. Dulu, saya adalah seorang wanita yang dominan dan juga cukup mandiri dalam beberapa hal. Sedangkan, kini, saya menjadi wanita yang benar-benar bergantung kepada suami saya, terlebih lagi, setelah menikah, saya langsung hijrah ke Bandung dan memulai segalanya lagi dari awal. 

Saya sama sekali tidak menyesali perubahan yang saya alami. Menurut saya, sikap dominan yang dulu saya miliki memang dibutuhkan di masa mahasiswa dalam aktualisasi diri saya sebagai mahasiswa. Dan, kini, saat saya sudah menjadi seorang istri dan ibu, saya pun harus kembali mengaktualisasikan diri saya dengan cara yang berbeda. Alhamdulillah, saya tidak mengalami keresahan, saat kini harus berada lebih sering di rumah untuk mengurus suami dan anak daripada berkegiatan di luar rumah seperti yang sering saya lakukan dulu . Saya sangat bersyukur, terkadang suami saya masih mengajak saya berkegiatan sosial di luar atau sekedar membantunya mempersiapkan sebuah materi atau acara yang akan dijalaninya.

Kini, saya mencoba memaksimalkan ibadah saya di rumah sebagai seorang istri yang akan menjadi asisten pribadi terbaik suami tercinta dan juga sebagai seorang ibu yang dapat mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dan, insya Allah, saya akan selalu mengingatkan anak-anak saya agar kelak di saat mereka dewasa nanti, mereka harus dapat menempatkan diri sesuai tugas dan kewajiban yang mereka miliki. Semoga Allah selalu memberkahi  keluarga kecil kami. Aamiin. 


1 komentar:

Rahmi Aulina mengatakan...

Aamiin, semoga Bu Yischi sekeluarga selalu diberi kebahagiaan oleh Allah, tetap semangat jadi the power wife and the amazing mom ya Bu Yischi :*