Kamis, 22 November 2012

Ujian komprehensif, Hujan dan Jakarta



Siapa yang tidak tahu bahwa Jakarta itu sangat identik dengan kemacetan. Berbagai usaha sudah dilakukan oleh pemda Jakarta untuk mencoba menangani permasalahan ini, seperti peraturan 3 in 1 di daerah sudirman-thamrin, pembuatan jalan bebas hambatan di hampir seluruh wilayah kota Jakarta, pengadaan bus transjakarta dan commuter line. Tapi ternyata  usaha-usaha ini masih belum mampu menjadi solusi bagi  masalah kemacetan di Jakarta. Saya, sebagai pengguna rutin jalanan di jakarta, mungkin sudah cukup memahami kondisi Jakarta yang seperti ini. Saat hari raya idul fitri sajalah, Jakarta bisa terlihat lengang karena penduduknya banyak yang mudik ke kampung halaman. Selain hari itu, maka hari-hari sisanya adalah "tiada hari tanpa macet" di Jakarta.



Kemacetan yang biasa terjadi sudah menjadi pemakluman tersendiri buat saya yang bertempat tinggal di kota sebelah, Tangerang , namun beraktivitas di Jakarta. Dengan jarak kurang lebih 40 km, waktu yang saya butuhkan dari Salemba ke rumah biasanya berkisar 1-1,5 jam. Namun beberapa hari terakhir, yang saya alami bukanlah macet yang biasa, karena dilengkapi dengan hujan yang mengguyur jalanan Jakarta.  Hujan membuat para pengendara motor berteduh hampir  di bawah setiap jembatan, terowongan dan fly over yang mengakibatkan jalur yang tadinya ada tiga menjadi tinggal dua. Hujan juga membuat jalanan Jakarta tergenang dan mobil-mobil akan berjalan lebih lambat dibanding biasanya. 


Hari Selasa, 13 nov 2012, saya berencana untuk pulang lebih sore dari kampus karena akan belajar bersama dengan teman-teman di perpustakaan untuk mempersiapkan ujian komprehensif keesokan harinya. Tiba-tiba, hujan deras mulai mengguyur jalanan Jakarta sejak ashar. Saya masih berharap hujan akan reda disaat saya akan pulang kerumah. Tapi sampai pukul 17.00, hujan belum juga berhenti. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang menggunakan taksi. Kemacetan mulai terjadi dimana-mana karena hujan deras yang tidak kunjung reda. Alhamdulillah, akhirnya saya tiba di rumah tercinta pada pukul 19.30. 2,5 jam perjalanan cukup membuat saya lelah walaupun hanya duduk di dalam taksi. Mengingat besok akan ada ujian dengan 100 soal  yang harus diselesaikan dalam waktu 100 menit, maka saya pun segera beristirahat dan mempersiapkan diri untuk ujian besoknya. 

Ujian komprehensif dilakukan selama 2 hari, oleh karena itu,  Senin, 19 nov 2012, saya kembali belajar dengan teman-teman saya untuk persiapan ujian esok hari. Tapi, kali ini saya dan teman-teman mencoba belajar dirumah teman saya di daerah Cikini. Lagi-lagi, hujan mengguyur jalanan Jakarta sejak ashar. Rencananya, hari ini saya akan pulang dengan ayah saya yang akan menunggu saya di kantornya di daerah Monas. Setelah kegiatan belajar selesai dan melihat langit yang semakin gelap, saya memutuskan untuk mulai beranjak ke kantor ayah saya dengan menggunakan taksi dari arah Cikini sekitar Pukul 17.00. Biasanya, perjalanan cikini - monas akan membutuhkan waktu sekitar 15-20 menit. Tapi, sepertinya hujan di sore ini akan membuat waktu perjalanan saya sedikit lebih lama.

Saya benar-benar tidak menyangka bahwa pada pukul 18.00, saya masih berada di daerah Menteng yang mungkin hanya berjarak sekitar 3 km dari tempat saya naik taksi pertama kali. Lampu lalu lintas di daerah Menteng Huis menuju Tugu Tani sudah menunjukkan warna merah dan hijau bergantian sebanyak 6 kali, namun taksi saya tidak menunjukkan adanya pergerakan sedikitpun. Setelah menelpon ayah saya yang sudah menunggu di kantornya sejak 1 jam yang lalu, akhirnya pada pukul 18.40 saya memutuskan untuk belok ke arah masjid cut meutia dan bermaksud untuk melewati kebon sirih. Tapi ternyata kondisinya tidak jauh berbeda, masih saja macet tanpa ada pergerakan yang signifikan. Bapak supir taksi pun mulai menyerah. Sempat terpikirkan oleh saya untuk turun dari taksi dan naik ojek, tapi hujan masih rintik dan kondisi yang kurang aman di malam hari membuat saya membatalkan niat saya itu. Dari bapak supir taksi, diketahui bahwa jalanan kebon sirih pun macet total dan tidak ada jalan lain lagi selain lewat Thamrin. Bapak supir taksi memberi saran agar saya turun saja di hotel Pullman di depan bundaran Hotel Indonesia, lalu menyambung dengan taksi lain atau bus transjakarta menuju kantor ayah. Akhirnya, setelah bertanya dengan ayah saya lewat telepon, saya pun menyetujui saran bapak supir taksi.

Alhamdulillah, pukul 19.50 saya sudah sampai di depan bundaran HI dan turun dari taksi yang argonya sudah mencapai angka 85.000. Ya, 85.000 rupiah untuk perjalanan dari Cikini menuju HI dalam waktu 3 jam. Sebenarnya saat itu, saya sedang berpuasa dan baru membatalkan puasa saya dengan sebuah permen yang ada di tas saya. Tapi, dari depan hotel Pullman menuju jembatan penyebrangan, saya tidak ingat lagi kebutuhan saya untuk membeli minum karena yang ada di otak saya saat itu hanyalah 'bagaimana caranya saya bisa sampai di kantor ayah saya secepatnya'. Ayah saya sudah dengan sabar menunggu saya di kantornya selama 3 jam. 

Di atas jembatan penyebrangan, sambil melihat arus jalanan Thamrin di bawahnya yang menuju Monas, saya mulai bingung untuk memilih antara naik bus transjakarta atau naik taksi. Setalah bolak balik, akhinya saya memutuskan untuk masuk ke dalam antrian para calon penumpang bus transjakarta. Antriannya cukup panjang sampai ke atas jembatan karena loket ditutup sementara sampai kondisi di dalam halte tidak terlalu penuh. Sambil menunggu, saya menelpon kakak saya dan menceritakan kondisi yang saya alami, sambil bercanda, dia menyarankan saya untuk jalan kaki saja ke kantor ayah. Sempat terpikir juga untuk mengikuti sarannya karena sekitar 2 tahun yang lalu, saya pernah mengikuti aksi gerakan anti rokok dan melakukan longmarch dari bundaran HI ke monas, jadi saya sudah bisa membayangkan bagaimana kondisinya kalau saya harus jalan kaki ke kantor ayah. Tapi, kondisi yang sudah malam dan kelelahan setelah duduk di taksi selama 3 jam membuat saya bertahan untuk tetap berada di antrian itu. Setelah beberapa menit menunggu bus transjakarta yang datangnya cukup jarang dan kondisi jalanan thamrin yang tiba-tiba kosong membuat saya menjadi bimbang. Tetap mengantri dengan sabar atau menyerah dan mencoba mencari taksi di sebrang? 

Pukul 20.15, saya tidak juga masuk ke dalam halte karena loket masih ditutup, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari antrian lalu bergerak menuju depan Plaza Indonesia (sebrangnya Hotel Pullman). Alhamdulillah, hujan sudah berhenti, tapi jalanan di depan saya cukup becek dan menyebabkan saya harus beberapa kali tersiram air genangan karena mobil-mobil yang bergerak cepat di jalanan. Saya terus berusaha untuk memberhentikan taksi yang melewati jalanan di depan saya, tapi taksi-taksi yang lewat  terus menolak. Akhirnya pukul 20.30, saya memutuskan untuk berjalan kaki saja sambil terus berusaha untuk menghentikan taksi yang lewat.


Sebenarnya ada sedikit rasa takut saat harus menyusuri jalanan Thamrin di malam itu, tapi alhamdulillah, dari ujung Plaza Indonesia sampai depan kantor ayah saya, selalu ada orang lain yang juga berjalan di depan saya atau di belakang saya. Sambil terus berdzikir meminta perlindungan Allah, akhirnya saya pun menyusuri jalanan Thamrin bersama beberapa mas dan mbak kantoran yang juga berjalan menuju arah yang sama. Dengan kondisi baju yang basah karena sisa hujan dan keringat, perut yang mulai kelaparan, mulut yang mulai kehausan dan kaki yang kelelahan , alhamdulillah, akhirnya saya sampai di kantor ayah saya pukul 20.55. Begitu masuk ke dalam mobil, alhamdulillah , ayah saya sudah membelikan saya seporsi nasi goreng dan sebotol air putih untuk saya berbuka puasa. Alhamdulillah, setelah itu perjalanan ke rumah tidak terlalu macet karena lewat tol bandara. Saya tiba di rumah pukul 22.00 dan langsung beristirahat tanpa sempat membuka lagi bahan ujian untuk esok harinya.     




Dulu saya pernah mengalami perjalanan antar kota yang paling lama, yaitu saat saya ada acara di Depok menggunakan angkutan umum selama  3 jam 45 menit . Dan sekarang sudah ada pengalaman baru, saya menjalani 5 jam perjalanan dari Cikini ke rumah saya. Alhamdulillah, selama perjalanan itu, saya malah sering tertawa mengingat betapa lucunya pengalaman perjalanan  saya kali ini. Mulai dari menghindari daerah Tugu Tani tapi malah kena macet yang sama di Menteng sampai kebingungan saya antara naik bus transjakarta atau taksi yang akhirnya malah berujung dengan jalan kaki di malam hari. Terima kasih Jakarta untuk pengalaman yang tidak terlupakan. Semoga Jakarta bisa lebih baik lagi dalam penataan transportasinya. Semoga kata kemacetan tidak lagi identik dengan kota Jakarta, Aamiin... 

6 komentar:

danfer mengatakan...

akhirnya keinginan menulis dari beberapa hari yg lalu tentang ini terwujud juga, hehe.
rekornya gk usah dipecahin lagi ya ris, udah cukup, pertahanin yg ini aja jadi perjalanan terlama nya. :D

Aristyani DR mengatakan...

Iya, akhirnya tertuang juga semuanya,, hehe..
Aamiin,, smoga g bakal mecahin rekor utk hal yg ini deh,,, ga mau, cape... hehe

Rahmi Aulina mengatakan...

Gue yang pecahin, Ris, rekornya. Haha, pernah mengalami yang lebih lama.. Jadi pengen segera beres 'urusan' di Jakarta, biar nggak usah bolak-balik lagi ke sana, kecuali ada urusan tertentu atau ngambil spesialis. Itu juga kalo rejeki. :))

Aristyani DR mengatakan...

Haha,, mantaplah mi kalo kamu yg pecahin rekornya... jgn dipecahin lagi tapi ya rekormu itu,, hehe.. iya nih, mari kita berjuang menuntaskan urusan kita di kotanya pak jokowi, hehe.. :D

Unknown mengatakan...

Salam kenal Aristya! Saya Faris temennya Tizar. Waktu itu kita kenalan di nikahan Intan (/Kokom).

Thanks udah di approve sebagai friends facebook. Dan iseng- iseng baca blog kamu. Bukan kepo. Tapi udah otomatis. Coz saya emang hobi baca blog orang. hehe

Kemacetan JKT memang menyushakan. Makanya saya lbh prefer kerja di kota non- jakarta. Biar punya 8 jam bwt kerja, 8 jam buat hidup, dan 8 jam buat main. Mgkin klo di Jakarta kita hanya akan punya 16 jam kerja dan 8 jam tidur aja.

Ngomong- ngogmong masalah macet. Mestinya JKT sdh mulai memprioritaskan angkutan umum. Ngebangun flyover hanya akan mengalihkan kemacetan sementara aja.

Mgkin klo ibarat sakit gigi, macet jakarta udh kyk gigi yang berlubang. Mungkin harus dicabut sekalian giginya. Alias reformasi total, =),,

Aristyani DR mengatakan...

Hehe, makasih untuk komentarnya ya... iya sih, kemacetan di jakarta emang rumit bgt penyelesaiannya, ya smoga aja pemimpin baru yang skrng bisa memberikan lebih banyak solusi nyata lagi untuk masalah yg satu ini...