Biaya pendidikan memang selalu menjadi masalah di Indonesia. Tapi, alhamdulillah, perlahan-lahan, pemerintah mulai membuka matanya dan menyadari bahwa pendidikan merupakan hal yang penting dan mendasar dari pembangunan bangsa. Yang saya tahu, BOS ( Biaya Operasional Sekolah ) sudah mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun Juli 2005. Bahkan, di tahun 2008, saya dan teman-teman kampus mengalami kesulitan untuk menemukan anak-anak yang putus sekolah karena kekurangan biaya di daerah Jakarta Pusat karena biaya sekolah dasar sudah ditanggung oleh BOS sepenuhnya. Jika ada anak yang putus sekolah, biasanya bukan dikarenakan tidak adanya biaya, tapi kondisi lainnya.
Berbeda dengan biaya pendidikan sekolah dasar, biaya pendidikan perguruan tinggi masih saja menjadi masalah hingga saat ini. Bahkan, perguruan tinggi negeri pun masih bisa dengan leluasa memungut biaya yang tinggi dari para mahasiswa, seperti yang terjadi di kampus saya yang nyatanya adalah sebuah universitas negeri.
Beberapa tahun terakhir, kenaikan biaya kuliah telah terjadi di kampus saya. Saya masuk kuliah dengan uang pangkal sebesar 25 juta dan bayaran per semester sekitar 1,5 juta. Besar biaya kuliah ini bisa saja berkurang tergantung dengan kemampuan mahasiswanya, yang untuk mewujudkan pengurangan biaya ini, diperlukan beberapa surat dan persayaratan yang harus dilengkapi oleh mahasiswa yang bersangkutan. Setahun kemudian, adik kelas saya , angkatan 2008 merasakan kenaikan biaya per semester menjadi 7,5 juta. Kenaikan sebesar 5 kali lipat dalam waktu satu tahun. Sistem yang sama dengan tahun sebelumnya masih berlaku. Angka 7,5 juta ini bisa disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa dengan persyaratan yang hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
Yang pertama kali menjadi masalah besar di kampus saya adalah adanya uang pangkal kedua yang harus dibayarkan mahasiswa ketika ingin melanjutkan ke pendidikan profesi. Alasan yang diutarakan oleh pihak kampus adalah kebutuhan biaya untuk pembangunan ini dan itu yang nantinya pun akan menunjang pelaksanaan pendidikan profesi yang akan kami jalani. Hal ini baru pertama kali terjadi di angkatan saya. Dulu, di tahun 2007, kami hanya diberitahukan bahwa biaya untuk mengikuti pendidikan pra sarjana dan profesi sampai lulus adalah uang pangkal yang sebesar 25 juta dan bayaran per semester sebesar 1,5 juta selama kurang lebih lima tahun. Jika dijumlahkan semua, maka biaya yang harus kami keluarkan untuk lulus dengan gelar profesi adalah sebesar 40 juta ( jika membayar penuh). Tapi, sekitar satu minggu sebelum kami masuk ke dalam pendidikan profesi, kami diberitahukan mengenai adanya uang pangkal profesi sebesar 10 juta dan kenaikan biaya per semester menjadi 2 juta. Hal ini mengakibatkan angka 40 juta yang telah diperhitungkan sebelumnya akan mengalami kenaikan menjadi 51,5 juta. Selain itu, berbeda dengan biaya pra sarjana, untuk biaya profesi tidak ada lagi keringanan berupa penyesuaian biaya dengan kemampuan mahasiswa. Jadi, semua mahasiswa wajib membayar penuh.
Saat itu, angkatan saya merasa menjadi marah, bingung dan kacau. Kami berusaha untuk melobi pihak kampus mengenai keputusan yang sangat mendadak ini. Kami seperti disandera oleh pihak kampus yang meminta uang tebusan kepada orang tua kami sebesar 10 juta dalam waktu kurang dari satu minggu, kalau tidak, maka kami terancam untuk tidak bisa mengikuti pendidikan profesi dan berakhir sebagai lulusan sarjana saja. Akhirnya, setelah perdebatan panjang dengan pihak kampus, termasuk menghadapi dekan secara face to face, pihak kampus memutuskan untuk memberi keringanan kepada kami berupa cicilan selama tiga bulan. Sebenarnya, keputusan itu sama sekali tidak meringankan kami. Kami masuk ke kampus ini untuk lulus sampai tingkat profesi dan keputusan baru ini sangat aneh dan tidak transparan. Dengan berat hati, demi mendapatkan gelar keprofesian kami, akhirnya dengan susah payah, kami berusaha keras untuk membayar uang pangkal kedua tersebut.
Berlanjut ke angkatan 2008, peraturan mengenai uang pangkal kedua ini kembali berlaku. Tapi, bedanya, biaya per semester untuk angkatan ini 7,5 juta , sama dengan biaya pra sarjana. Saat itu, adik-adik kelas kami sudah lebih dahulu mengetahui adanya peraturan ini semenjak peraturan ini pertama kali dikeluarkan, yaitu setahun sebelumnya, jadi sepertinya mereka pun tidak terlalu mempermasalahkan hal ini ke pihak kampus. Alasannya tetap sama, untuk biaya pembangunan.
Dan sekarang, masalah baru muncul. Sebelum angkatan 2009 memasuki masa pendidikan profesinya, tersiar berita bahwa uang pangkal profesi akan mengalami kenaikan lagi menjadi 15 juta. Kali ini, mahasiswa angkatan 2009 pun tidak bisa tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk bisa menolak keputusan ini. Melobi pihak kampus, meminta bantuan dari teman-teman universitas dan juga cara-cara lainnya. Lagi-lagi, alasannya adalah untuk biaya pembangunan dan SUC ( student unit cost ) yang tinggi menurut pihak kampus. SUC yang dimaksud adalah biaya yang dibutuhkan setiap mahasiswa untuk menjalani pendidikan di kampus kami termasuk bahan-bahan dan alat-alat yang kami gunakan selama masa pendidikan pra sarjana dan profesi. Tapi, SUC ini tidak mengalami perubahan sejak beberapa tahun sebelumnya, bahkan sebelum uang pangkal profesi ini ada, SUC di kampus kami memang sudah tinggi. Segalanya terlihat aneh dan tidak transparan. Saat ini, masih ada waktu sekitar 6 bulan lagi sampai mahasiswa 2009 memasuki masa pendidikan profesinya. Mereka masih terus berusaha untuk mengatasi permasalahan yang dianggap janggal ini, bahkan mereka meminta bantuan dari rekan-rekan mahasiswa satu universitas untuk menyetujui petisi mengenai penolakan biaya profesi ini. ( bisa dilihat di www.uigue.com ).
Lagi-lagi, biaya pendidikan masih menjadi masalah bagi bangsa ini. Bagaimana bisa pembangunan di Indonesia berjalan dengan baik kalau pendidikannya saja masih terus diganggu oleh permasalahan biaya? Bagaimana bisa jumlah tenaga kesehatan di Indonesia diperbanyak, jika untuk menjalani pendidikan kesehatannya saja, mahasiswa masih dibebankan biaya yang sangat tinggi? Bukankah perguruan tinggi berada di bawah struktur pemerintah? Lalu, mengapa harus mahasiswa yang menjadi sumber dananya? Apalagi untuk alasan biaya pembangunan, apakah hal ini bisa dibenarkan?
Semoga pemerintah bisa memberikan perhatian lebih kepada nasib perguruan tinggi negeri yang masih membutuhkan banyak biaya untuk pembangunan fisik maupun non fisik , agar bukan mahasiswa lagi yang menjadi korbannya. Aamiin..
*tetap semangat untuk rekan-rekan yang masih berjuang!