"Bun, Fikri pulang agak malam ya, kerjaan di kampus belum selesai."
" Ya sudah, hati-hati ya nak, jangan terlalu malam."
Ku tutup telepon dari anak laki-lakiku, Fikri. Dia sudah berada di tingkat akhir kuliahnya sehingga dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk berada di kampus. Biasanya, di saat matahari akan terbenam, Fikri sudah pulang dan mulai menemaniku di rumah yang sederhana ini. Dia akan menceritakan semua kegiatannya di kampus, tentang dosen pembimbing yang sangat dia takuti, tentang tugas kuliah yang tidak pernah ada habisnya, atau bahkan terkadang dia juga menceritakan tentang teman perempuan yang cukup menarik perhatiannya.
Fikri, tidak terasa, kini kau sudah tumbuh besar menjadi seorang pemuda.
Aku hanya tinggal berdua dengannya saat ini. Suamiku sudah meninggal karena kanker yang dideritanya setahun yang lalu. Anak perempuanku, Fiza, sudah menikah dan pindah bersama suaminya ke Maluku Utara. Rumahku ini terasa semakin sepi. Tapi di rumah inilah sejuta kenangan tentang keluarga kecilku tetap hadir menemani. Setelah pensiun dari pekerjaanku, kini kesibukanku hanyalah mengurus rumah, mengurus Fikri dan sedikit membaca buku-buku Islam.
Tanpa terasa, sudah satu tahun suamiku pergi. Kalau dia masih ada di sini sore ini, di saat Fikri belum pulang, pasti dia akan mengajakku menonton acara favoritnya di televisi atau hanya sekedar memintaku untuk membuatkan teh hangat sebagai temannya membaca koran sore. Aku merindukan masa-masa itu.
Ah, bi, andai kau masih ada disini. Sebentar lagi sudah mau bulan puasa. Aku merindukan kebersamaan kita dua tahun lalu, saat kau masih mengimami setiap shalat tarawih kita di rumah, saat Fiza dan Fikri masih bergantian membantuku menyiapkan makanan untuk berbuka. Aku merindukanmu, bi. Aku merindukan kehangatan suasana di rumah ini.
Ah, sudahlah, daripada berangan-angan yang tidak ada manfaatnya, lebih baik aku ambil koran sore dan surat-surat yang belum ku ambil dari kemarin di depan rumah. Aku langkahkan kaki menuju halaman rumah dan saat aku buka kotak pos hitam di depan pagar rumah, aku temukan tiga surat. Ada surat tagihan telepon, undangan pernikahan keponakanku di Jakarta dan sebuah surat dengan amplop berwarna cokelat. Ini surat dari Fiza, Alhamdulillah.
Ya, Fiza, anakku yang satu ini memang selalu ku rindukan. Setelah menikah dua tahun yang lalu, dia tinggal di sebuah desa yang cukup terpencil di Maluku Utara untuk menemani suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan tambang nikel di sana. Di tempat tinggalnya, terkadang sinyal ponsel pun tidak ada. Kalau bukan untuk sesuatu yang sangat penting dan mendadak, dibandingkan dengan mengirim e-mail atau menelepon saat dia sedang berada di kota, dia lebih suka mengirimiku surat, katanya biar lebih seru.
"Asslamualaykum, Bunda sayang, apa kabarnya di Bandung? Bunda sehat kan? Fikri bagaimana? Dia nggak nakal kan bun? Kalau dia bikin pusing bunda, kasih tau Fiza ya, biar nanti Fiza omelin. Hehe.. Oiya Bun, kemarin bang Dhika dimintain bantuan sama warga sekitar supaya aku bisa mengajar mengaji anak-anak di Masjid dekat sini. Alhamdulillah, Bun, akhirnya aku bisa mengajar lagi, walaupun gajinya memang masih sangat kecil. Di sini, walaupun mayoritas muslim, tapi mereka masih kekurangan tenaga untuk mengajar Al-Qur'an. Doakan aku berhasil di sini ya, bun. Aamiin.. "
Alhamdulillah, akhirnya Fiza mendapatkan kegiatan baru yang disukainya. Beberapa waktu lalu, saat dia berkesempatan pulang ke rumah, dia sempat mengatakan kepadaku bahwa dia sangat rindu mengajar. Dulu, sebelum menikah, dia adalah seorang guru di SD dekat rumah kami. Dia sangat suka mengajar. Sejak lulus SMA, dia mengatakan kepadaku bahwa dia ingin menjadi guru. Berbeda dengan adiknya, Fikri, yang sangat mengidolakan Abi nya sehingga memilih masuk teknik.
" Oiya, Bun, mungkin lebaran tahun ini, Fiza nggak bisa pulang karena bang Dhika diminta atasannya untuk tetap di sini sampai lebaran. Padahal, Fiza udah kangen banget sama Bunda, semoga Allah kasih jalan untuk bisa pulang ya Bun. Sampaikan salam kecup untuk Fikri, semoga skripsinya cepat selesai. Oiya, ada salam juga dari bang Dhika. Ya sudah, baik-baik di sana ya Bunda sayang, terimakasih untuk doa-doanya. Fiza sayang Bunda, Wassalamualaykum"
Ya, lebaran tahun ini, Fiza tidak bisa pulang. Itu berarti hanya akan ada aku dan Fikri. Sepinya rumah ini. Ah, ya sudahlah, Fiza sudah punya kehidupan baru dengan suaminya, aku harus bisa mengikhlaskannya. Dia sedang berusaha menjadi istri yang baik untuk suaminya, seharusnya aku bisa mendukungnya. Ku lihat jam di dinding menunjukkan pukul 17.00, Fikri pasti masih lama akan tiba di rumah.
***
"Allahu akbar, Allahu akbar "
Adzan Maghrib membangunkanku. Ya Allah, aku tertidur setelah membaca surat dari Fiza tadi sore. Aku langsung bergerak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan bersiap shalat maghrib. Tiba-tiba bel pintu rumahku berbunyi..
"Assalamualaykum, Bundaaa..". Itu suara Fikri. Aku kembali berjalan ke ruang tamu dan membukakan pintu untuknya.
"Waalaykumussalam, lho, Fik, sudah pulang?"
"Iya Bun, tadi tiba-tiba dosen pembimbing Fikri ada acara mendadak, jadi Fikri nggak jadi bimbingan sampai malam"
"Oh, Alhamdulillah kalau begitu, ya sudah, ambil air wudhu sana, Shalat Maghrib yuk ".
Suasana berjamaah kali ini memang tidak pernah sama dengan dulu. Sekarang aku hanya tinggal berdua. Tidak ada lagi mengaji berempat di mushola rumah ini. " Ya Allah, berkahilah kehidupan kami , sampaikanlah kami pada bulan penuh ampunanMu dan kumpulkanlah kami kembali di dalam surgaMu, Aamiin. Aku sangat merindukan anakku, ya Rabb". Ku panjatkan doa penuh harap kepada Sang Maha Kuasa seusai shalat. Tiba-tiba terdengar lagi suara bel pintu rumah kami. Fikri yang sudah selesai melipat sarung dan sajadahnya langsung bergerak menuju depan rumah dan membukakan pintu.
"Assalamualaykum, Bundaaa"
Itu adalah suara Fiza. Alhamdulillah ya Rabb, terima kasih. Aku langsung memeluknya.
"Waalaykumussalam, kok tiba-tiba pulang ke rumah bunda tanpa kasih kabar. Katanya kamu nggak bisa pulang sama Dhika" , menantuku pun mencium tanganku setelah kulepaskan pelukan Fiza.
" Iya, Bun. Tadi pagi, tiba-tiba, atasan bang Dhika memberikan tugas mendadak. Senior bang Dhika yang harusnya dinas di Bandung, tiba-tiba masuk Rumah Sakit kemarin malam. Jadi, tadi pagi, bang Dhika diminta untuk menggantikannya dan dinas di sini selama dua bulan. Maaf Bun, tadi aku nggak sempat telepon Bunda"
"Alhamdulillah, iya nggak apa-apa nak, ibu udah senang sekali kamu bisa pulang berdua dengan Dhika sebelum puasa"
"Aku nggak cuma berdua Bun.."
"Sama siapa lagi?" , aku melihat ke sekeliling dan tidak menemukan siapapun.
" Ini, Bun ", Fiza memegang perutnya.
"Aku bertiga, sama calon cucunya Bunda", Fiza melanjutkan bicaranya.
"Alhamdulillah" Aku kembali memeluk Fiza dengan mata yang berkaca-kaca, lalu aku pegang perutnya yang sudah mengandung janin berusia empat minggu itu.
Maghrib itu, aku kembali merasakan betapa besar anugerah yang diberikan olehNya. Walaupun di Ramadhan tahun ini, suamiku telah pergi meninggalkan kami semua, tapi kini ada anggota baru di dalam kehangatan rumahku. Rumahku kembali mendapatkan cahayanya.Terima kasih ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar