Kamis, 31 Mei 2012

So, what's the plan?

Sebagai seorang mahasiswa kedokteran gigi, sudah pasti, saya dan juga teman-teman koas kedokteran umum akan mengalami sindrom 'masih koas' di antara teman-teman se angkatan saat SMA dulu yang berkuliah di fakultas non kedokteran. Teman-teman itu sudah lulus dari status mahasiswanya, sudah bisa mencari uang sendiri dengan bekerja atau bahkan sudah bisa menyusun rencana untuk mengambil S2. Sedangkan saya yang berada di tahap akhir masa per-koas-an harus berpikir "lebih serius" lagi mengenai rencana hidup ke depan.

Rencana mengenai kehidupan pasca klinik memang sudah pernah mampir di benak saya. Ingin praktek di klinik pribadi atau di Rumah Sakit, ingin PTT, ingin mengambil spesialis, dll. Tapi, sepertinya saat ini , saya harus  meletakkan kembali rencana-rencana itu, karena semakin dekat dengan deadline kelulusan, saya menjadi semakin berhitung mengenai waktu kelulusan saya. Yah, beginilah balada koas kedokteran gigi. Kelulusan bukanlah suatu hal yang bisa dipastikan oleh saya dan dosen semata. Ada faktor lain, seperti ke-kooperatif-an pasien dalam menjalani perawatan dan ketersediaan dental unit di kampus.

Terkadang semangat untuk menyelesaikan requirement tiba-tiba menurun bahkan hilang karena kejenuhan mulai memenuhi pikiran. Pergi ke kampus, tapi tidak mengerjakan pasien karena pasiennya tidak bisa datang tiba-tiba atau karena memang belum ada pasien yang sesuai dengan kasus yang dibutuhkan. Sedangkan, di kanan kiri saya, teman-teman lain bekerja dengan jadwal yang padat. Kondisi seperti inilah yang pernah membuat saya menjadi malas dan hampir menyerah. Alhamdulillah, saya masih memiliki teman-teman yang selalu saling menyemangati. Akhirnya, saya berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya dan mencoba untuk menjalaninya dengan terus berusaha. Insya Allah, kalau saya memang belum bisa lulus tepat waktu, pasti ada hikmahnya.Saya masih ingin membuat orangtua saya tersenyum bangga ketika melihat saya bisa lulus menjadi seorang dokter gigi dan sudah mampu mencari uang sendiri. Itu motivasi terbesar yang akhirnya berhasil membuat rasa malas dan menyerah itu perlahan menghilang. Walaupun rencana saya mungkin tidak bisa terealisasi dengan ideal, tapi setidaknya saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkannya. ( baca : lulus dan wisuda di September 2012 ).

So, what's the plan?
It's not about PTT, or work in a hospital, or take a specialty, but 'Drg Aristyani Dwi Rahmani'  this year, aamiin...

Senin, 14 Mei 2012

Grazie..

Mungkin terkesan berlebihan, tapi saya benar-benar sedih malam kemarin. Saya sedih karena kemarin adalah malam terakhir saya melihat jagoan-jagoan saya bermain di lapangan hijau dengan seragam merah hitam. Pippo Inzaghi, Gattuso, Nesta, Seedorf, Zambrotta dan Van Bommel akan pergi meninggalkan kami, para milanisti. Sedih sekali rasanya. Untuk milanisti perempuan seperti saya, momen perpisahan tadi malam adalah momen yang sangat emosional dan penuh airmata.

Saya yang biasanya paling malas untuk menonton pertandingan via streaming akhirnya berusaha mati-matian untuk mencari link streaming yang paling bagus tadi malam demi menonton pertandingan terakhir mereka. Sebenarnya, melihat mereka bermain di lapangan saja sudah membuat saya sangat senang karena mereka memang sudah jarang sekali dimainkan oleh pelatih. Saya tidak peduli dengan skor, yang penting saya melihat mereka bermain. Tapi, ketika Inzaghi mencetak gol ke 125 nya, saya benar-benar senang. Idola saya sejak kelas 4 SD ini memberikan kenangan yang sangat bagus di permainan terakhirnya.

Seusai pertandingan, para pemain masuk ke lapangan dengan anak-anak mereka. Ini yang saya kagumi dari tim favorit saya, kekeluargaan yang benar-benar terasa di antara pemain ( itu yang saya lihat dari media ). Mengharukan sekali saat melihat para pemain itu saling berpelukan dan menangis karena harus mengalami perpisahan. Buat saya, melihat seorang laki-laki menangis adalah hal yang paling mengharukan. 

Filippo Inzaghi, dialah yang membuat saya menjadi seorang milanisti. Saat pertama saya mengenal dunia sepakbola, saya menyukai si Nyonya Tua, apalagi dengan kehebatan Del-Pippo dikala itu. Tapi, di tahun 2001/2002, Inzaghi pindah ke AC Milan. Akhirnya, saya menjadi Juventini sekaligus Milanisti. Seiring berjalannya waktu, saya akhirnya menentukan pilihan untuk menjadi Milanisti saja dan Inzaghi lah yang menjadi alasannya.

Jagoan saya memang sudah pergi. AC Milan akan berganti wajah dengan pemain yang lebih muda. Semoga regenerasi berjalan dengan baik dan Milan akan kembali menjadi tim terbaik di Italia. ForzaMilan! Grazie Sandro, Pippo, Rhino, Seedorf, Van Bommel, Zambrotta..





Minggu, 13 Mei 2012

Tragedi Sukhoi dan identifikasi gigi


Tragedi Sukhoi yang mengejutkan seluruh warga Indonesia beberapa waktu lalu juga masih membuat saya kembali merinding ketika mengingat bahwa ayah saya sempat berada di dalam pesawaat naas itu di penerbangan uji coba yang pertama. Alhamdulillah, Allah masih memberikan berkah dan pertolongannya kepada keluarga saya.

Pesawat Sukhoi super jet 100 buatan Rusia yang terjatuh di tebing Gunung Salak memang telah memberikan luka yang sangat dalam bagi keluarga para korban yang sampai saat ini masih dalam proses evakuasi dan identifikasi. Berita di televisi yang membicarkan kerja tim DVI ( Disaster Victim Identification ) membuat saya teringat kepada beberapa dosen di kampus saya yang tergabung dalam tim elit tersebut. Tim DVI merupakan tim yang terdiri dari banyak elemen, diantaranya adalah polisi, dokter umum, dokter gigi dan elemen penting lainnya. DVI juga mengingatkan saya kepada sebuah karya tulis yang saya susun di tahun 2010 mengenai gigi sebagai alat Identifikasi korban bencana.

Untuk beberapa orang, data gigi mungkin bukanlah suatu hal yang penting. Tapi, dalam dunia forensik, gigi merupakan salah satu dari 3 data primer yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi korban selain dengan DNA dan sidik jari. Metode sidik jari akan sangat sulit dilakukan jika kondisi tangan korban sudah dalam keadaan yang hancur, misalnya pada korban ledakan bom, kecelakaan pesawat, atau tenggelam di lautan. Sedangkan, metode DNA membutuhkan waktu dan biaya yang lebih banyak. Oleh karena itu, metode identifikasi dengan gigi cukup sering digunakan oleh tim DVI  (termasuk dalam kasus tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi ) karena beberapa hal, yaitu :
1.   Gigi setiap orang berbeda. Dalam satu mulut, normalnya ada 32 gigi dengan masing-masing gigi memiliki   5 permukaan. Kondisi dan posisi dari ke 32 gigi tersebut pasti berbeda diantara satu orang dengan orang lainnya, baik itu sudah pernah ada tambalan, atau  sudah hilang. Seorang peneliti menyatakan bahwa kemungkinan kesamaan bentuk gigi antar individu adalah 1 berbanding 2 milyar
2.    Gigi sangat kuat. Gigi melekat erat pada tulang rahang, tahan terhadap proses pembusukan, tahan panas hingga 900° C dan tahan asam. 
3.       Gigi dapat memberikan informasi mengenai jenis kelamin, ras, usia dan bahkan bentuk wajah korban.

Kehebatan gigi ini sempat membuat saya tertarik pada dunia forensik sekaligus bersyukur menjadi mahasiswa kedokteran gigi.  Mungkin, suatu saat nanti, jika memang diijinkan, saya ingin mempelajari ilmu forensik lebih dalam lagi.

Semoga proses identifikasi korban Sukhoi dapat berjalan dengan lancar dan seluruh keluarga korban dapat diberikan ketabahan dan kesabaran oleh Allah. Semoga kejadian ini memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Aamiin... 

Selasa, 01 Mei 2012

Rumah Sakit Umum


30 April 2012, 22.45

Malam ini adalah malam terakhir saya bertugas jaga malam di IGD RSU Tangerang. Kondisi rumah sakit ini masih sama seperti 1,5 bulan lalu, ketika saya pertama kali berkenalan dengan rumah sakit ini. Setiap hari, rumah sakit ini selalu saja ramai dengan pasien rujukan. Bagian pengurusan askes dan jamkesmas juga selalu dipadati oleh pasien yang kurang mampu.  Dari pagi sampai malam, rumah sakit ini juga ramai dengan keluarga pasien yang masih saja memanggil kami dengan sebutan 'sus' karena menyangka kami adalah suster rumah sakit.

Menurut beberapa teman dan senior di kampus, stase RSUT adalah stase yang paling menyenangkan karena disini kami menjalani hari-hari tanpa ada tekanan dan tuntutan requirement yang harus kami selesaikan. Kegiatan di poliklinik, IGD dan juga kehidupan asrama membuat kami benar-benar merasa nyaman menjalani stase ini , sampai-sampai kami pun merasa sedih ketika harus berpisah dengan RSUT. 

Kegiatan poliklinik mengajarkan kami berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran gigi seperti berdiskusi dengan dokter ahli, melihat berbagai kasus baru dan membantu para dokter gigi melayani masyarakat umum yang membutuhkan tenaga kami. Disini, kami melihat bagaimana program pemerintah di bidang kesehatan sudah cukup memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia. Untuk beberapa kasus yang dianggap penting, masyarakat dengan askes dan jamkesmas dapat ditanggung sepenuhnya, tanpa ada bayaran sedikitpun, asalkan mereka mau mengurus surat-suratnya.

Kegiatan IGD mengenalkan kami, para calon dokter gigi, kepada kondisi pasien yang lebih umum. Disini, kami belajar banyak hal baru yang tidak kami dapatkan dari tempat lain seperti menjahit kulit, menyuntik obat anti tetanus , memasang infus, dll. Disini, kami juga berinteraksi dengan banyak perawat dan dokter dari bidang lain yang terkadang memberikan kami kuliah singkat mengenai hal-hal baru. 

Menempati asrama di lingkungan rumah sakit juga memberikan kenangan tersendiri untuk saya dan teman-teman. Mencoba mandiri (belanja, memasak, mencuci sendiri) dan menjalin kekeluargaan diantara kami ( menonton dvd bersama ) adalah hal yang akan kami ingat dari asrama koas gigi RSUT. 

Berbagai pengalaman berharga telah saya dapatkan disini, baik pengalaman dalam bidang ilmu kedokteran maupun pengalaman lain yang tidak akan saya dapatkan di stase lain. Sedih memang, karena kami akhirnya harus pergi dari kehidupan RSUT. Namun, tugas di kampus telah menunggu untuk kami selesaikan agar kami dapat segera menjadi dokter gigi dan bisa terjun langsung ke masyarakat untuk mengabdikan diri kami. Terima kasih kepada para dokter, perawat dan pihak lain yang telah memberikan banyak pengalaman berharga kepada kami.




 We will miss RSUT...